Selasa, 25 November 2014

Dia menyebutku Mr. Dreamer

Tumben suasana kota bandung hari itu tidak hujan. Kalau tidak salah hari itu adalah bulan Mei, kira-kira satu bulan sebelum saya harus di wisuda. Dari salah satu universitas besar di kota tersebut. Universitas yang seharusnya sudah kutinggalkan ketika saya menyelesaikan semester pertama. Tapi akhirnya saya bisa sedikit bersyukur, saya telah belajar banyak selama 2 semester berikutnya.

Dia duduk di pojokan waktu itu. Dari posisinya, dia dapat memandang jalanan dengan sangat jelas. Seperti biasa jalanan Bandung selalu di penuhi kendaraan, macet dimana-mana. Entah kenapa, sepertinya ini adalah salah satu alasan kenapa saya tidak suka tinggal di Bandung.

Hari itu adalah pertama kali saya melihat dia, setelah beberapa kali melakukan percakapan melalui pesan singkat. Tidak ada alasan lain sih, saya hanya ingin belajar banyak dari dia. Kami kuliah di kampus yang sama, dengan jurusan yang sangat berbeda jauh. Saya di jurusan Sains dan dia ambil MBA. Sejak hari itu lah pembicaraan tentang mimpi dan belajar membuat bisnis dengan dia dimulai.

Sampai akhirnya masalah itu datang. Ketika aku mengambil keisengan untuk mendaftar sebuah pekerjaan yang belum begitu saya inginkan saat itu. Setelah seleksi hampir selama 3 bulan akhirnya pengumuman itu datang. Saya di nyatakan lolos seleksi.

Saat teman-temanku bahagia mendengar pengumuman itu. Saya malah bingung, apa yang harus kulakukan. Antara ego dan kebutuhan hanya di pisahkan oleh keputusan kata hati yang labil. Pilihan semakin sulit ketika harus menantangani sebuah kontrak dengan durasi 3 tahun. Lama amat saya pikir. Sepertinya saya tidak siap untuk jangka waktu selama itu.

Dua minggu saya mengikuti pelatihan sebelum memulai pekerjaan ini. Teman-teman baru, lingkungan baru, kost-an baru, serta tujuan hidup yang baru harus di tetapkan saat saya memutuskan untuk tetap disini. Namun hati kecil berontak. Dua minggu berlalu aku tetap belum bisa menentukan apakah aku tetap di sini atau meninggalkannya.

Saya bertanya pada beberapa teman, hampir semua jawaban yang kudapatkan sama, termasuk dari dia. "Lebih baik tetap di sini" kata dia dengan berbagai argumen yang menguatkan keadaan saat itu. Oke, aku bisa menerima masukan-masukan itu. Sampai akhirnya batas waktu penentuan keputusan ini pun datang.
 
Setelah waktu itu terlewati aku mengirimkan sebuah pesan kepada dia, "Akhirnya aku memilih untuk tetap mengajar mimpi". Dia hanya menjawab dengan beberapa kata yang membuatku sedikit meringis, "Oke Mr. Dreamer." :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar